google-site-verification: google69a94cdeb4b83c2f.html

Apr 17, 2008

Gelombang Cinta

Sebuah Cerpen
=============
Setiap kali aku pulang kerja pada sore hari, kulihat dia selalu asyik mengutak atik tanah dalam pot tanaman hias kesayangannya. Ada lebih 20 pot yang semuanya berbeda tanamannya. Bukan hanya hafal namanya, namun secara teoritis dia juga akhir-akhir ini menjadi pintar soal tanaman hiasnya. Namanya, cara hidup tanamannya, cara memberi pupuknya, bagaiamana bentuk daunnya yang sehat, bagaimana bentuk dan warna daun yang kekurangan cahaya matahari bagitu juga kalau kelebihan terkena sinar matahari dan seabrek tetek bengek soal tanaman hiasnya.

“Naaa yang ini namanya Gelombang Cinta! Mahal lho kalo sudah gede…weeey, kusayangi juga. Mudahan bisa tumbuh gede terus ya…..,” begitu ujarnya memamerkan tanaman hiasnya yang dibelinya di Pameran Hias akhir tahun lalu itu. Bentuknya biasa saja, menurutku. Seperti tanaman hutan. Itu sudah beberapakali dia menyebutkan kepadaku. Sampai akhirnya aku sendiri hafal yang namanya Gelombang Cinta. Bukan hanya aku tapi anakku yang baru berusia 3 tahun dan memang sering bersamanya, selalu menyebut dan menunjuk tanaman hias itu bila aku melewati mereka berdua tengah asyik bermain tanah.
“Tanahnya harus dibongkar dalam kurun waktu tertentu, biar gembur dan jangan sampai jadi sarang penyakit tanaman…gitu lho!” Begitu penjelasannya suatu hari saat aku menatap heran sikapnya yang begitu sayang dengan tanamannya sampai-sampai siang itu dia belum mandi sementara tanamannya sudah disiramnya.
“Pak…Pak…naaa ini Gelombang Cinta namanya….!Bagus lho!....” kembali suara Ofin, anakku yang berumur tiga tahun itu sambil menunjuk kearah tanaman hias itu sementara tangan satunya menarik masuk tanganku ke dalam rumah.
“Iyya sudah….!Bapak dah tau…!” kucium kedua pipinya….harumnya, wangi bedak bayi yang belepotan di wajahnya, sudah mandi rupanya. “Siapa yang mandiin Ofin?”
“Bu Amah, Pak! Bapak mau di ke mall ya…?” Matanya tajam ke arahku sambil tersenyum merayu. Begitulah gayanya kalau ada maunya. Aneh juga, mesti sudah diberitahu tentang awalan kata kalau mau pergi, pakai salah satu saja, kalau tidak ‘ke’ ya pakai ‘di’. Tapi tetap saja Ofin menggunakan kedua awalan itu bila dia mengajak untuk pergi ke mal.
“Lhaaa, Bapak kan baru pulang kerja…masih capek ! Nanti aja ya…kalo sudah libur…”
Kucium sekali lagi pipinya.
“Oke deh!” Ofin segera berlalu. Kali ini dia tidak merajuk. Mungkin hanya menyapa saja, karena seharian kutinggal kerja ke kantor. Syukurlah!
***
“Pak…Pak…Gelombang Cinta Bu Amah daunnya mati satu Pak…?” Ofin bergelayut di pinggangku. Kedua kakinya menjuntai. Ufh, ternyata jagoanku ini mulai tambah besar. Rasanya berat sekali badannya. Kuhembuskan nafasku keluar dengan kuat. “Capek ya, Pak…?”
Aku hanya memandang wajahnya sekilas. Segar. Kali ini pun sudah mandi. Wangi bedak di wajahnya yang berlepotan bedak bayi….terasa nyamn sekali. Kuangkat badannya dan kuciumi kedua pipinya.
“Kenapa daunnya mati…?” Sambil kujinjing kedua sepatuku setelah kuturunkan badannya.
“Tau….nggak dikasi makan siiih…?” Wajahnya seolah-olah seperti orang yang tahu tentang penyebab matinya daun Gelombang Cinta. Aku tersenyum, rasanya ingin seperti ngakak mendengarnya namun rasa penat badanku yang menahannya.
“Lho, emang makanannya apa Fin…?”
Aku terus berjalan ke belakang munyusuri lantai ulin disamping rumah Bapak, menuju ke pintu belakang rumah. Memang, rumah yang kami bangun berdempet langsung dengan rumah Bapak. Pintu samping rumah Bapak berbatasan langsung dengan pintu dapur rumah kami. Jadi sepanjang lantai ulin itulah berjejer berbagai macam tanaman hias milik Bu Amah, kakak perempuanku satu-satunya yang masih tinggal serumah dengan Bapak, sejak meninggulnya Ibu. Sekaligus area itu merupakan tempat menaruh sepeda motorku dan isteriku pada malam hari, garasi motor. Juga tempat bermain Ofin dan temannya.
“Kata Bu Amah pupuk…Apa sih itu Pak?” Kali ini diraihnya tas pungguku dan mulai membawanya dengan beban yang seakan membawa beban yang berat sekali. Ufh, kambuh lagi pertanyaannya. Sekali dia bertanya tentang asesuatu pasti nantinya akan ada muncul lagi serentetan pertanyaan barunya. Entah kenapa, menurutku anak-anak sekarang terlalu pintar. Mungkin karena sering minum susu instant barangkali. Terkadang aku merasa harus menghindar dengan cepat apabila Ofin mulai dengan sebuah pertanyaan. Seolah di otaknya telah tersimpan beribu pertanyaan yang siap dilontarkannya dan selalu minta jawaban pasti, kalau tidak…
“Bapak jelek!” begitu komentarnya kalau pertanyaannya tidak dijawab dengan tuntas.
Zaman sekarang sepertinya menjadi orangtua tak hanya sekedar sayang dan sabar saja, perlu pendidikan yang lebih lagi untuk bisa menghadapi kepintaran anak-anaknya.
“Lho Bu Amah kan punya pupuknya, mahal lagi harganya…”
“Koq mati sih Pak…” Ditariknya celana kantorku.
“Ofin kali yang matiin…” Aku mendelikkan matku ke arahnya.
“Mana ada…..” Ofin segera berlari keluar rumah. Sebentar kemudian kudengar suaranya saling berasahutan bermain dengan teman-temannya di luar rumah.

Setelah berganti pakaian sebentar. Rasanya lega sekali, di kantor sudah shalat Ashar, jadi punya waktu senggang sebentar menjelang Maghrib. Aku ke sebelah, rumah Bapak.
“Iya tuh, mati daunnya satu Ofin yang ngasi tahu! Jadi sisa dua lembar saja lagi daunnya. Sayangnya….” Bu Amah menyapaku. Kuperhatikan tanaman hias kecil itu. Nampak dua lembar daun, itupun nampak tidak sesegar sewaktu membelinya sekitar empat bulan yang lalu. Aku ingat, tanaman hias kecil itu dibelikan oleh Mbak Fitri, isteri kakak lelakiku ,kakak iparku yang setiap bulan datang berkunjung ke rumah Bapak. Waktu itu mereka membelinya di arena pameran tanaman hias. Harganya sekitar dua puluh lima ribu rupiah. Menurutku, mahal juga untuk tanaman sebesar jari kelingking dengan tiga buah daun kecil. Itulah hobbi katanya!
“Padahal perawatannya dah bagus ya…mungkin Kakak nggak cocok kali dengan gelombang cinta…” ujarku menghibur. Dia memandangku sebentar, terlihat sedih wajahnya.
“Mungkin juga ya…” suaranya lirih.
Aku duduk di depan rumah Bapak. Ada bangku yang terbuat dari kayu di situ. Cuaca sore terasa sedikit sejuk dibanding siang tadi. Sinar matahari sudah berubah warna menjadi kuning kemerahan. Kuperhatikan halaman depan rumah tetangga, pas di depan rumah Bapak. Sama juga, banyak tanaman hias memenuhi hamper setengah halaman rumah. Sampai ada juga tanaman hias yang brgelantungan dengan tali di plafon teras rumahnya. Beraneka macam tanaman ada di situ. Hmmmm, sekarang lagi musimnya tanaman hias! Beberapa waktu yang lalu sempat juga musim memelihara ikan arwana, ikan koi lalu ikan yang berjidat nong-nong…apa ya namanya…oooo iya, ikan
Entahlah nanti, musim apa lagi yaa….
Tak lama kudengar suara dari menara masjid orang mengaji. Kupanggil Ofin. Seperti biasa, aku ingin mengajaknya ke masjid untuk shalat Maghrib bersama.
***
Dua minggu setelah kematian daun pertama si Gelombang Cinta, setiap kali aku melewati deretan tanaman hias, mataku seringkali tertuju ke Gelombang Cinta, semakin layu saja daun-daunnya. Nampak menguning pada bagian pinggir daunnya. Tak ada tanda-tanda perkembangan daunnya menjadi segar apalagi tumbuh daun-daun yang baru. Sayang sekali, seandainya bisa tumbuh dan membesar seperti yang terlihat di pameran hias waktu itu, woooow, harganya bisa sampai satu juta rupiah per pohonnya.
Beberapa kali kulihat tanaman hias itu diganti tanahnya dengan tanah pupuk yang, katanya, baik untuk tanaman sejenis itu. Diberi pupuk khusus. Belum lagi kalau siang hari yang terik, Bu Amah selalu mencarikan tempat yang teduh untuk tanaman hiasnya itu. Kalau hujan lebat, dibawa masuk ke teras dapur yang teduh. Pokoknya, memelihara tanaman hias itu seperti merawat anak sendiri saja. Penuh kasih sayang.
“Menghilangkan stress…” Katanya suatu kali saat aku mengomentari sikap rajin merawat tanaman hiasnya. Memang kakakku satu ini hidup sendiri meski umurnya sudah tak muda lagi, entahlah, kalau hidup sendiri memang gampang terserang stress…mungkin. Untunglah, katanya, ada Ofin yang bisa membuatnya terhibur dibalik kesendiriannya.
***
Hujan lebat sore itu, membuatku berlari kecil melewati deretan tanaman hias di samping rumah Bapak. Mataku tak sempat mengawasi si Gelombang Cinta. Seingatku, sudah tiga hari ini aku tak sempat melihat si Gelombang Cinta tersebut, dua hari aku tugas keluar kota.
“Pak…Pak…Gelombang Cinta Bu Amah dah mati Pak…!” Suara Ofin menyambutku di depan pintu, orangnya belum kelihatan. Rupanya dia sudah tahu kedatanganku. Setelah menggantungkan jas hujan yang kuyup, ku dekap wajahku yang kedinginan dengan kedua tangan.
“Lho…kapan Fin…?” Kucium dahinya segera setelah pintu terbuka.
“Tadi siang! Ofin yang buang dalam tong sampah…!”
Sejenak aku tertegun. Terlintas di benakku, betapa sayangnya Bu Amah terhadap tanamannya tersebut. Disiram dengan teratur, diberi pupuk dan dijaga dari terik matahari…tapi ternyata takdir berkehendak lain. Mungkin benar kata banyak orang, tak semua orang bertangan dingin untuk memelihara tanaman hias tertentu. Perlu bukan hanya tekad dan kesabaran saja tapi juga takdir, mungkin, untuk memelihara si Gelombang Cinta.


No comments:

Post a Comment