google-site-verification: google69a94cdeb4b83c2f.html

Apr 19, 2008

Sebuah Kesadaran

Sebuah Cerpen
=============

Kususuri koridor rumah sakit yang lengang. Hanya hembusan angin subuh yang terasa menusuk-nusuk dan menampari wajahku. Sesekali terdengar jelas desiran angin yang saling berebut mempermainkan daun-daun pohon sawit yang berjejer rapi di sepanjang taman di samping koridor. Sudah beberapa kali kucoba menepis bayangan-bayangan terburuk dalam pikiranku…tapi entahlah selalu saja aku merasa gagal! Pun untuk subuh ketiga kali ini.
Kupejamkan mata kuat-kuat menahan rasa kantuk yang mulai menyergapku.

“Heran juga ni orang…sudah berkali-kali dikasi tahu…tetap aja membandel! Kamu tu dah nggak kayak ABG lagi….Naaa, sekarang, sakit begitu baru tau rasa! Ya orang juga yang sibuk dan mengurusi kamu. Kamu nggak bisa cuek kan kali ini dengan sakitmu….!” Suara kakak perempuanku yang terus mengomentari kondisi Fiyan yang terbaring lemas di ranjang ruang perawatan penyakit dalam. Sementara Fiyan hanya bisa diam. Bibirnya putih. Wajahnya nampak sekali layu, seperti orang yang kelaparan. Memang, sudah seminggu ini dia menanggung sakitnya dan tidak mau menyentuh makanan sedikitpun. Setiap kali makanan yang masuk ke mulutnya selalu saja dalam beberapa menit kemudian dimuntahkannya. Seperti hari biasanya juga, Fiyan memang susah sekali dalam soal makan. Selesai pulang kuliah, siang hari, bukannya makan, malah sering jalan dan main game bersama teman-temannya. Begitu juga malam harinya, selesai shalat isya, sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya sampai menjelang tengah malam, saat orang rumah sudah mematikan lampu depan rumah baru dia datang. Dan biasanya mulutnya sudah bau rokok. Dalam keluargaku, enam bersaudara, tiga saudara laki-laki, cuma dia yang merokok. Bapak pun tidak merokok semenjak mudanya. Bapak yang memang tak bisa banyak bicarapun pernah menegur tentang kebiasannya itu. Reaksi Fiyan hanya diam. Tapi tetap saja kebiasaan itu dijalaninya. Aku juga beberapa kali menegurnya. Pun sama reaksinya. Tak ada perubahan. Mungkin perlu Tuhan barangkali yang harus menegurnya, baru dia mau menuruti.

Akhirnya rasa kantukku tak terkalahkan. Suasana dingin yang terasa membelai-belai mataku untuk tertutup semakin kuat. Rasanya seluruh tulangku berdenyitan saat kucoba membalikkan badanku ke samping sambil menarik selimut tebalku. Hari yang melelahkan hari ini. Dari pagi, belum lagi sarapan aku harus minta blanko surat pengantar jaminan perawatan rawat inap dari ruang perawatan ke kantor Askes yang terletak di gedung bagian depan rumah sakit. Ufh, jaraknya lumayan, bikin capek juga. Setelah sampai di kantor Askes, untung belum begitu banyak yang orang antri di situ. Suasana sejuk, karena ruang ber-AC, membuatku merasa sedikit merasa nyaman.
“Maaf, mas, ini yang harus difotokopi bukan yang ini…,” kata petugas Askes dengan ramah sambil tersenyum.
Aku kembali mengantri di pojok fotocopy-an. Ada 4 orang yang menunggu giliran disitu. Aku menghela nafas kali ini. Kesabaranku mulai diuji. Setengah jam berlalu, giliranku. Kembali ke kantor Askes. Sudah hampir dua kali lipat orang yang mengantri di situ. Kuperhatikan ada tiga orang petugas yang melayani dengan masing-masing satu komputer Mereka terlihat akrab dan trampil sekali dengan pekerjaan mereka. Satu-satu dipanggil sesuai dengan nomor antri dan hanya memakan waktu beberapa menit saja untuk melayani setiap orang. Kurang lebih 40 menit aku menunggu giliran di panggil nomer antrianku. Sabar….sabar…,aku berusaha menguatkan diriku sendiri. Begitulah, kalau kita ingin mendapatkan pelayanan gratis dari pemerintah. Sudah untung pemerintah mau memberikan fasilitas pelayanan kesehatan yang serba gratis di masa-masa sulit dan serba mahal seperti sekarang ini. Tak apalah mesti antri sana antri sini, urus sana urus sini, tokh, akhirnya gratis juga terhadap pelayanan yang kita dapatkan.
***
Hari ketujuh.
Kulihat wajah Fiyan sedikit lebih segar. Namun matanya masih terlihat sayu, seperti orang yang begadang semalam suntuk.
“Masih mual…?” tanyaku pelan. Kusodorkan roti bakery yang dibawakan oleh teman-temannya kemarin sore sewaktu membezuknya.
“Nggak lagi. Rasanya lemas.” Fiyan mengambil sepotong roti isi pisang. Kulihat cara dia memakan roti itu, akh, persis tingkah Ofin anakku saat kupaksa untuk makan. Malas sekali! Kutuang teh hangat dari dalam termos.
“Mau pake susu?”
Fiyan menatapku sebentar. Entah apa yang dipikirkannya. Mulutnya masih mengunyah roti dengan perlahan. Fiyan menggelengkan kepalanya.
“Kakak nggak pulang malam tadi ya…?” Tangannya meraih cangkir yang beirisi teh hangat kuberikan.
“Nggak!” Kutuang juga teh hangat buatan isteriku ke dalam cangkir. “Malam tadi Bapak nggak bisa kesini, ibu selalu menanyakan kamu, jadi Bapak khawatir kalo ibu ada knapa-napa…”
Memang, semenjak ibu stroke, sekitar tiga tahun yang lalu, otomatis kebutuhan ibu jadi amat tergantung dengan kami, Bapak, aku dan kakak perempuanku yang masih tinggal serumah. Dan sesekali isteriku juga membantu, namun ibu sering merasa lebih nyaman dilayani dengan Bapak.
“Masuk kerja hari ini…?”
Kutatap Fiyan dengan tatapan heran. Tumben juga dia menanyakan tentang hal seperti itu. Di rumah, Fiyan lah orang yang super cuek. Tak ada yang bisa membuatnya perduli dengan orang sekitarnya. Apa yang dia mau, harus ada. Tak perduli dengan keadaan orang lain, meskipun dengan Bapak sendiri. Dulu, sewaktu ibu belum sakit, beliaulah yang sering memberikan dan memanjakan kemauan Fiyan kecil. Namun akhirnya terbawa sampai besarnya. Seringkali aku berbeda pendapat dengan ibu mengenai hal itu. Namun beliau selalu membela si bungsu kesayangannya itu. Aku juga pernah protes tentang hal itu. Tapi selalu saja beliau menanggapi dengan lemah lembut.
“Dia kan adikmu juga. Mengalah untuk menang..tak apa lah…Nggak selamanya juga dia begitu. Ya…sudahlah!...” Begitulah Ibu. Aku juga tak ingin memperpanjang perdebatan itu. Semakin mengesalkan nantinya.
“Aku minta ambil cutiku 3 hari…”
Fiyan menghabiskan rotinya. Rasanya senang melihat dia mampu menghabiskan roti secuil itu. Sejak kemarin dia sudah bisa memakan makanan yang diberikan tanpa dimuntahkannya.
“Kak….” Suara Fiyan tertahan. Aku tak memperhatikannya. Aku mulai mengunyah rotiku yang kucelup ke dalam teh hangat di hadapanku. Semilir angin dingin berhembus membawa khas bau lantai rumah sakit yang sedang dibersihkan dengan karbol. Rasanya nyaman sekali roti yang kumakan. Teh hangat menjalari setiap centi tenggorokanku.
Satu persatu keluarga pasien lainnya yang terbaring di sepanjang selasar rumah sakit bangun dan mulai mengemasi peralatan tidur mereka. Kalau terlambat sedikit saja maka sang cleaning service dengan sigapnya membangunkan dan segera menggeser peralatan tidur keluarga pasien dengan tangkai slabernya. Memang sekarang rumah sakit pemerintah ini nampak jauh lebih bersih. Selain bangunannya terlihat baru juga nampak perbaikan pada taman-taman yang dibuat, nampak asri dan indah dipandang mata.
***


“Mas. Adiknya besok boleh pulang,” ujar sang dokter cantik yang memeriksa Fiyan hari ini. Senyumnya sedikit. Senang mendengarnya. Aku mengucapkan terima kasih. Terlihat dia dokter yang ramah. Kali ini dokter yang memeriksa Fiyan berganti lagi. Entahlah, dokter spesialis atau umum. Masih muda dan lincah gerakannya saat memeriksa pasien.. Sesekali terdengar suara lembut sekaligus tegasnya memberitahukan tentang kondisi pasien yang terjadi setelah diperiksanya.

Malam itu, arlojiku menunjukkan pukul 10 lewat lima menit . Aku mengoleskan lotion anti nyamuk ke seluruh bagian tangan dan kaki. Sudah hampir delapan hari aku menginap juga di rumah sakit menemani Fiyan, ternyata rumah sakit juga sarangnya nyamuk. Seperti di kampung saja. Nyamuknya tidak ketulungan. Meski pakai obat nyamuk bakar plus lotion anti nyamuk biar tokcer!
Sebelum kurebahkan tubuhku, sekali lagi kulihat Fiyan.
“Belum tidur..?” Kulihat Fiyan masih memencet HP nya, sms-an.
“Belum ngantuk…” Fiyan berhenti sebentar memencet HP nya. Matanya nampak masih segar. Ada senyum di bibirnya. Wajahnya kali ini nampak jauh lebih segar. TB Abdomen yang menggerogotinya mungkin mulai jinak dengan obat-obat yang sudah dua hari ini dimakannya. Perlu waktu enam bulan untuk mengkonsumsi obat-obatan TB tersebut agar dapat sembuh total. Kalau perlu sampai 7 bulan agar benar-benar dapat terlepas dari kuman TB tersebut, begitu kata dokternya.
“Kak…!” Suara Fiyan memalingkan wajahku kembali kepadanya, karena aku sudah siap-siap kembali keluar menuju selasar rumah sakit untuk merebahkan tubuhku. Ada karpet dan secangkir susu coklat buatan isteriku yang dibawakannya sewaktu membezuk sore tadi menantiku serta sebuah koran lusuh hari ini yang akan mengantukkan mataku.
“Ya…?” Kudekati kembali Fiyan.
“Maafkan aku yaa….!” Fiyan lalu memelukku erat disamping tempat tidurnya. Tak lama kudengar sesegukan, menangis. Entahlah…aku merasa dihormati kali ini. Aku merasa begitu tersentuh dengan sikapnya kali ini. Pelukannya erat sekali, seolah tak ingin terlepas lagi. Kulihat beberapa keluarga pasien yang ada di situ melihat heran kearah kami.
“Saya janji, Kak…saya akan menuruti kata-kata Kakak dan orang rumah.”
Aku tetap terdiam dalam pelukan eratnya. Selintas dalam benakku, aku mengurusinya selama dia di opname ini memang cukup berat bagiku. Bolak balik rumah sakit dan ke rumah, antar jemput Bapak dan Kakak yang ingin membezuk bergantian. Sungguh itu bukan perkerjaan yang bisa dianggap enteng. Belum lagi urusan obat dan mengantar darah ke laboratorium yang jaraknya cukup jauh, Fiyan pernah mengeluh soal ini sewaktu ibu pertama kali terkena stroke dan harus dirawat di rumah sakit.
Aku hanya balas memeluknya perlahan.

Tak lama kemudian terdengar suara gemuruh di langit. Pertanda hujan. Sejak selesai Maghrib tadi awan mendung berarak menyelimuti bulan. Gelap sekali.
Kali ini aku rasanya bisa tertidur lebih lelap lagi daripada hari-hari kemarin. Suasana dingin mulai merayap. Perlahan kudengar suara gerimis hujan mulai bermain-main di atas atap. Terima kasih Tuhan, aku ingin tidur……


No comments:

Post a Comment