google-site-verification: google69a94cdeb4b83c2f.html

Jul 7, 2008

cerpen online : "ELEGI YANG TERTINGGAL"

"Ada yang mengatakan, cinta itu cukup di dalam hati saja. Namun kehidupan nyata menginginkan cinta bisa terdengar lewat lisan dengan untaian kata yang membelai jiwa...hingga akhirnya kita tahu bahwa ada yang memang mencintai kita...."

*************************************************************************************
(sebuah cerpen online)

Umi sesekali tersenyum mendengar cerita Dodo.
Kadang saja Umi menimpali dengan kata-kata pendek.
“Um….kamu…koq….?”
Mata Dodo penuh selidik. Umi melenguh sebentar. Matanya jauh menatap ke hamparan sawah dan padang rerumputan dihadapannya. Indah sekali pemandangannya. Udaranya segar dan aroma rerumputan terhirup nyaman.
Ya…sudah satu minggu ini seluruh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat semester ganjil mengadakan Praktek Belajar Lapangan di SP II (Satuan pemukiman Transmigrasi).
“Kamu punya masalah ya…?Maaf ya Um…aku tadi banyak cerita…” Dede menggeser duduknya.


“Tak apa lah Do…Aku senang kamu banyak cerita.” Lagi Umi tersenyum dingin. Sejak awal masuk kuliah, Umi akrab dengan Dodo, cowok teman satu Jurusan Kesehatan Lingkungan yang juga teman satu sekolah sewaktu masa SMP dulu. Teman-temannya di kampus sudah mengira kalau keakraban mereka diartikan sebagai pacaran.

“Hah? Pacaran…? Gosip akh!” tampik Umi suatu ketika saat Linda, teman satu boncengan motornya, mencari tahu.
“Tapi…. Kalian kan akrab gitu koq…!”
“Cuma sahabatan aja ….dia orangnya baek!”
“Nah lho!...apalagi…?”
“Kamu juga baek Lin…lantas kamu juga pacarku?”
Umi menggeneralisasikan pendapatnya.

Angin sore itu makin kencang bertiup tapi terasa nyaman.. Karena siang tadi Umi sudah keliling rumah penduduk desa untuk mengumpulkan data-data terakhir untuk kelompoknya dan cuacanya menyengat sekali.

Lama keduanya saling diam. Suara kicauan pipit yang menyerbu bulir-bulir padi yang mulai menguning saling susul menyusul dengan bunyi kaleng-kaleng kosong yang sengaja dipasang pada orang-orangan pengusir di tengah sawah. Sesekali terdengar lenguhan kerbau dan sapi di seberang sawah.

“Do….”

Suara Umi terputus di situ. Ada daun kering dari atas yang jatuh menerpa wajahnya.
“Entahlah….rasanya ini makin berat buatku….”
Dodo menatap Umi dengan lekat, mencoba mencari tahu.
“Kata orang pintar, bila kita menceritakan apa yang mengganjal di hati kita, rasanya akan menjadi lebih baik….jangan dipendam…”
Sumi mulai bercerita.

Tadi pagi, ibunya yang janda di kampung memintanya untuk pulang sebentar bila ada libur karena pihak keluarganya hendak menjodohkannya dengan Sidiq, yang notabene masih ada hubungan keluarga dan sudah bekerja sebagai guru SD di kampungnya.

“Menikah?”
Suara Dodo pelan, tapi jelas ada nada keterkejutan disitu. Matanya cepat beralih kea wan. Nelangsa sekali rasanya.
“Belum…hanya tunangan dulu.”
Umi kembali membisu. Sulit sekali rasanya memenuhi permintaan sang ibu tercinta. Terbesit wajah kedua adiknya, Abi dan Fani yang masih sekolah di kampung.Tiba-tiba Umi merasa rindu sekali pada keduanya.

Sebagai sulung, Umi merasa harus bisa memberikan contoh yang baik bagi adiknya, menjadi anak yang taat dan patuh pada orangtua. Karena tak ada orangtua yang baik dan pasti menginginkan yang terbaik juga buat anaknya. Sudah lama ibunya hendak menikahkan Umi dengan Sidiq tapi Umi berkeras untuk melanjutkan pendidikannya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Beragam alasan dan penolakan halus Umi akhirnya berhasil meluluhkan keinginan ibunya.

“Tapi tunangan saja dulu, nak…” pinta sang ibu suatu ketika Umi pulang kampung semester dulu.
“Bu, Umi mau kuliah ke Samarinda. Ibu takut ya..saya nanti kawin sama orang lain…? Percayalah, Bu…!”
Lantas bulan-bulan berikutnya setiap kali sang ibu menghubunginya melalui handphone, selalu saja permintaan yang sama dilontarkan kepada Umi.

“Nanti saja, Bu….yah, akhir tahun nanti ya….” Akhirnya Umi memberikan kepastian waktu meskipun belum begitu pasti. Tapi menurutnya, hal itu mungkin cukup meredam keinginan sang ibu yang semakin menggebu.

“Kapan berangkat, Um..?” Dodo menatap mata Umi lekat-lekat. Seolah takut kehilangan.
“Mungkin besok lusa…kan ada libur dua hari…”
Dodo menghirup napasnya dalam-dalam.
Dodo dan Umi berpisah di ersimpangan pematang sawah. Senja mulai merayap.

***

“Hah!!!? Ditabrak…???!”

Dodo langsung bangkit dari tidurnya. Celana jeans dan jaket almamater dipakai sekenanya.
“Sekarang lagi dibawa ke Rumah Sakit umum!” kata ketua kelompok kerja Umi.
Di IGD nampak Linda yang tengah diberi pengobatan dengan betadin pada luka-luka lecetnya.

Linda, yang teman satu rumah indukan selama PBL menceritakan kejadiannya.

Sepulang mengolah data, saat mereka menyusuri pinggir jalan, yang memang tak ada trotoarnya, tiba-tiba sebuah truk yang membawa hasil produksi pertanian penduduk dari arah belakang menyambar mereka dan tak lama kemudian Linda baru sadar kalau dirinya terlempar jauh ke samping jalan raya di area kebun tomat milik penduduk. Umi…? Wajahnya dipenuhi noda darah kental dan Linda tak kuasa melihat semua itu dan setelah sadar sudah terbaring di IGD Rumah Sakit.

“Bagaimana keadaannya, Do?”
Dodo tertunduk lesu. Menggelengkan kepalanya perlahan.
Suasana IGD terlihat ramai dan sibuk.

Di salah satu sudut bangku panjang, Dodo duduk tercenung, seolah tak percaya yang baru saja terjadi. Dadanya berdegup kencang. Tangannya gemetaran. Pikirannya….
Suara sesegukan dan tangisan beberapa orang temannya memenuhi gendang telinganya.

“Sudah bersih, Mas. Silahkan….” Suara ramah suster menyadarkan Dodo yang berdiri tak jauh dari ranjang, tempat Umi terbaring.

Tubuh Umi terbujur kaku. Wajahnya nampak tak karuan akibat kecelakan itu tapi terlihat pucat pasi, beku. Tak ada lagi ekspresi di situ. Wajah yang lembut dan selalu memberinya ketenangan itu kini tak kan pernah lagi tersenyum padanya.
Dodo mendekat. Tak ada yang dapat diucapkannya. Lidah terasa kelu. Dadanya terasa mengguncah, entah apa yang ada…Tak terasa air matanya menetes. Hidungnya terasa tersumbat.

“Umi….”
Suara Dodo akhirnya keluar juga meski perlahan sekali. Diraihnya punggung tangan Umi. Serasa sedingin es. Tak ada reaksi. Memang tak akan pernah bereaksi lagi. Dodo menundukkan kepalanya ke arah Umi.
“…aku…sayang…kamu…Umi…. “

***

5Nov07’

5 comments:

  1. Aduh..., sedih banget ya ceritanya. Si Dodo pasti jadi sangat merasa kehilangan.
    Btw, kematian memang akan selalu jadi ending yg mudah. Hehe....

    ReplyDelete
  2. Wew.. mending dibikin ebook ajah trus kita download hehehe ternyata pintar ngarang juga bapak yang satu ini

    ReplyDelete
  3. @ faradina :
    ending yg mudah...but I must get a long time for to write out lho...

    @ zalukhu :
    Ebook...? Ntar dah...belajar bikin yg bagus- bagus dulu khu...thanks dah mampir ya...!

    ReplyDelete