google-site-verification: google69a94cdeb4b83c2f.html

Sep 9, 2008

SEBUAH PENANTIAN

Mencari kepastian hubungan terkadang selalu menimbulkan beribu keraguan yang siap memporakporandakan keinginan yang telah dibangun dengan segenap kekuatan yang ada. Dibalik itu semua, hidup akan terus berpacu dengan ketidakpastian lainnya, mengapa harus menunggu ketidakpastian yang sudah pasti bisa dihentikan...?


*************************************************************************

Mencari arti sebuah kata layaknya mencari sebuah makna yang tersembunyi. Tersembunyi dari penglihatan mata fisik. Tersembunyi dari arti yang gampang tercerna saat mata mampu melihatnya secara harfiah. Namun makna lain yang lebih dalam dapat menjadi rentetan dari arti kata yang singkat itu.


Seperti itulah yang dirasakan Mistah saat tunangannya mengajaknya untuk menikah.
“Dik, maukah kamu menikah dalam tahun ini?” Begitu ajakan sang tunangan di malam awal Rhamadan kemarin.


Jantung Mistah berdegup kencang. Menikah ? Dalam tahun ini? Mistah belum berani memberikan jawaban yang pasti. Jalinan keakraban dan keindahan yang mereka jalin bersama selama ini seolah belum mampu menyakinkan Mistah untuk melangkah lebih jauh lagi ke jenjang pernikahan. Bayangan tentang keindahan dan romantisme sebuah keluarga yang bahagia , yang pernah dibacanya di majalah, dilihatnya di televisi, seolah hanyalah sebuah cerita-cerita indah yang dibuat-buat oleh para editor dan sutradara film dan majalah saja. Tidak nyata.


Apa yang kurang dari seorang Dedi? Penghasilan dia punya, meskipun pekerjaan yang ditekuninya tak menghasilkan berkeping emas, tapi setidaknya dia telah mampu memberikan buktinya selama ini. Motor yang walaupun hanya bekas mampu dibelinya. Sudah beberapa kali dia membelikan Mistah dan juga dua adiknya, pakaian baru yang dibelinya di sebuah toko pakaian di Pasar pagi.


Penampilan Dedi juga tidak terlalu mengecewakan. Orangnya sederhana dengan gaya bicara yang santun. Sebagai seorang muslim, Dedi juga telah menunjukkan kalau dia adalah seorang muslim yang baik. Shalatnya tak pernah ketinggalan.


“Kita shalat dulu yuk Dik…! Suasana mushollanya nyaman di atas sana…!” Ajakan yang tak bisa ditampik Mistah sewaktu mereka pertama kali jalan bersama di sebuah mall. Mistah pikir, mungkin kesan pertama saja yang ingin ditampilkan Dedi. Ternyata, tidak! Dalam setiap kesempatan bersama dan datang waktu shalat, Dedi selalu menyempatkan untuk melakukan shalat. Pun pernah di rumah Mistah.


Hampir dua tahun Mistah menjalani hari-hari bersama Dedi. Selama itu pula Dedi sepertinya berusaha menebarkan pupuk kesuburan untuk cinta yang ditanamnya di hati Mistah. Di pelihara dan di jaga. Bak bunga mahal yang selalu memberikan ketentraman dan kebanggan yang yang tak terlukiskan. Mistah menikmatinya.


Dan malam itu, setelah shalat tarawih bersama di Islamic Center dalam perjalanan pulang. Dedi mengungkapkan keinginannya. Tak ada tanggapan langsung dari gadis lulusan sekolah dasar itu, hanya sebuah senyum manis. Pipinya bersemu kemerahan. Pipi indah yang selalu meninggalkan kesan untuk merindu. Betapa indahlah sebuah cinta yang selalu menimbulkan keinginan untuk membelai dan merindukannya di sela-sela belaian malam. Di antara kelelahan jiwa yang terus mencari celah untuk tetap terus bertahan dalam belantara dunia. Pemberi inspirasi. Pembuat semangat jiwa. Untuk terus bertahan dan menggapai asa yang terus membumbung tinggi.


Mistah belum berani untuk menerimanya dengan ungkapan kata-katanya sendiri. Masih ada ibunya yang yang akan dimintainya pendapat sekaligus tempat pencurahan seluruh kegamangan hatinya.


“Ya ibu setuju. Bukankah itu lebih baik, tho! Sudah selayaknya kalian bisa lebih serius lagi. Nak Dedi itu kan orang baik juga. Pekerjaan juga ada. Orangtuanya juga ada.”


Lampu hijau! Memang sejak bulan-bulan pertama hubungan Mistah dengan Dedi itu pun, ibu selalu mendukung. Naluri seorang ibu. Menurut Mistah lagi, mereka serasi.


“Entahlah, Bu…”
“Koq ragu…? Kamu mau menundanya…?” tanya ibu Mistah sambil membelai rambut anak gadisnya itu.


Mistah berusaha tenang. Kali ini rasanya ingin sekali ia melihat wajah didepannya yang selalu menimbulkan ketenangan itu tersenyum. Mistah tak ingin mementahkan keinginan sang bunda. Sebuah keinginan yang wajar terhadap seorang anak gadis.


Mistah memberikan senyum termanisnya buat sang bunda. Terdengar desahan nafas berat yang seolah melepas beban berat yang terpikul.

......................................................***....................................................

“Kamu bahagia…?”
Pertanyaan singkat itu tak dijawab Mistah. Senyum manisnya mengembang tak henti-hentinya semenjak sore menjelang. Setelah acara berbuka bersama dan shalat Maghrib, acara pertunangan itupun berlangsung dengan khidmat. Orangtua Dedi dan tiga saudaranya yang sudah berkeluarga datang dan memberikan sebuah jalinan silaturahmi baru yang lebih erat pada keluarga Mistah.


Ditatapnya Dedi lamat-lamat. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kini di jari manis kanannya melingkar sebuah cincin emas mungil. Terlihat manis buat Mistah.


“Terima kasih, mas….”
Suara Mistah terdengar jelas. Kali ini matanya berkaca-kaca. Bahagia. Sebuah keputusan telah diambilnmya. Sebuah penantian yang tak pernah ia ungkapkan, karena pengalaman masa lalu yang begitu membekas, meninggalkan cerita luka yang tak ingin diingatnya lagi. Biarlah berlalu semuanya. Biarlah penantian ini kali inipun menjadi nyata. Biarlah cerita masa lalu menjadi bagian dari penantian ini.

Rhamadan kali ini begitu khusyuk dan berkah...Amiiin....



No comments:

Post a Comment